Kamis, 29 Desember 2011

HmI : MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Dari segi fisiologis bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai fisik hampir sama dengan hewan. Hewan punya kepala, maka manusia punya kepala. Hewan punya telinga, maka manusia punya telinga. Hewan punya kaki, maka manusia pun punya kaki. Dari segi fisiologis bisa dikatakan tidak ada beda antara manusia dengan hewan. Jika kita mendefinisikan manusia hanya melalui segi fisiologis saja, maka kita akan dibuat kebingungan. Di antara manusia itu saja terjadi perbedaan bentuk fisik. Ada yang gendut, kurus, ada yang langsing. Ada yang bisa melihat dan ada yang (maaf) buta. Jika terjadi perbedaan seperti itu, maka mana yang pantas disebut sebagai manusia? Maka dari itu, kita harus mendefinisikan manusia kembali dengan sudut pandang lainnya. Menurut saya, definisi manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahiNya akal, hati, fisik. Yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka ada yang berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah akal.
Manusia dan Nilai-Nilai Kemanusiaan? Apa itu Nilai-Nilai kemanusiaan?
Menurut saya, nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat memanusiakan manusia atau bisa dikatakan juga kembali kepada fitrah manusia, itulah nilai-nilai kemanusiaan. Apa fitrah manusia itu? Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan sisi buruk. Tetapi kita juga jangan lupa bahwa manusia itu juga punya fitrah / kecenderungan untuk menyempurnakan diri. Bagaimana manusia menyempurnakan dirinya? Manusia dalam proses penyempurnaan diri itu membutuhkan yang namanya pengetahuan. Pengetahuan yang dimilikinya itulah yang akan menentukan apakah proses penyempurnaan diri yang dia lakukan itu memang sudah benar-benar sempurna ataukah belum. Pengetahuan seperti apa yang betul? Maka nanti akan saya bahasa pada pembahasan selanjutnya. yaitu pembahasan bab I dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, yaitu Landasan dan konsep berpikir.
Kebetulan NDP yang dikaji itu NDP yang terbaru. Sehingga ada beberapa mantan pengurus yang tertarik untukberpartisipasi juga. Pada NDP Bab I dibahas mengenai landasan berpikir. Bahwa masing-masing dari kita memiliki pengetahuan, keyakinan. Pengetahuan dan keyakinan antara orang yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dengan adanya perbedaan itu, seolah-olah bahwa kebenaran itu sesuatu yang bersifat relatif. Padahal Kebenaran adalah sesuatu yang mutlak. Dalam logika tidak mungkin ada dua kebenaran. Lalu manakah diantara banyak pengetahuan dan keyakinan itu yang berada pada kebenaran? Maka dari itu, pada NDP Bab I inilah akan dibahas masalah landasan berpikir atau peta pengetahuan yang biasa dikenal dengan istilah Epistemologi Islam. Di dalam dunia Barat, sumber pengetahuan yang mereka miliki dan yakini hanyalah dua sumber pengetahuan saja.
1.Empirisme
Sumber dari pengetahuan ini adalah Alam. Sarana yang digunakan adalah Eksperimen. Mazhab pengetahuan ini hanya mendasarkan kebenaran pada apa yang dapat ditangkap oleh indera manusia. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, dll. Misalnya, Apakah memang benar Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, lalu mana Tuhan? Mengapa Tuhan tidak dapat kita lihat, tidak dapat kita dengar suaranya? Dari mazhab pengetahuan inilah muncul berbagai macam ajaran-ajaran materialistik. Mazhab ini tidak dapat mengantarkan kita pada kebenaran yang 100%. Misalnya saja Teori Gravitasi yang ditemukan berdasarkan Eksperimen. Belakangan teori Gravitasi tersebut telah ada yang membantahnya.
2.Rasionalitas
Sumber dari pengetahuan ini adalah akal. Alat atau sarana yang digunakan adalah berpikir. Mazhab pengetahuan ini mempunyai dua kaidah utama, yaitu Kausalitas (sebab-akibat) dan Non-Kontradiksi.

Sebab Akibat
Bahwa apa yang terjadi di dunia ini pasti memiliki sebab-sebab yang mempengaruhinya. Seseorang bisa tidur sekalipun, dibelakangnya terdapat beribu-ribu faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Non-Kontradiksi
Sebuah kebenaran, tidak mungkin di dalamnya mengandung kontradiksi. Misalnya ada informasi bahwa si A itu berada di jakarta, tetapi pada saat yang sama si A berada di Bandung. Informasi ini mengandung kontradiksi sehingga wajib kita tolak keabsahannya. Jadi, kebenaran itu PASTI tidak akan bertentangan dengan akal. Maksudnya adalah kebenaran tidak akan bertentangan dengan kedua kaidah akal tersebut. Mazhab pengetahuan ini mampu membawa kita pada kebenaran yang 100%
3.Pengetahuan Hati
Sumber dari pengetahuan ini adalah hati. Alat atau sarana yang digunakan adalah Tazkiyatun Nafs. Pengetahuan hati ini akan erat kaitanya dengan bab selanjutnya di dalam NDP yaitu Manusia dan Nilai-Nilai Kemanusiaan. Bahwa fitrah manusia adalah memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tetapi manusia juga memiliki kecenderungan untuk menyempurnakan dirinya. Dalam menyempurnakan dirinya inilah Epistemologi Islam memiliki perang yang sangat penting, terkhusus pengetahuan hati dan nanti pengetahuan yang keempat yaitu pengetahuan skriptualisme.
4.Skriptualisme
Pengetahuan ini bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Alat atau sarana yang digunakan adalah Pengkajian dan Penafsiran. Bahwa di dalam al-Qur’an terkandung berbagai macam pengetahuan yang dapat menuntun kita pada kebenaran 100% dan kesempurnaan. Tentunya kesempurnaan yang dimaksud adalah kesempurnaan dalam kadar manusia. [REDAKSI HMI BECAK ]


Asal-Usul Pluralisme “Haram”
Dari mana gerangan asal-usul paham pluralisme bahwa semua agama adalah benar? Pengertian pluralisme seperti inilah yang diharamkan oleh MUI (Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005). MUI menyatakan:
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.”
Dalam sejarah Filsafat Barat, terutama Filsafat Agama, pemikir yang paling berminat merumuskan pluralisme agama secara filosofis adalah John H. Hick. Agama-agama di Barat, terutama Kristen, menurut Hick menghadapi tantangan dari epistemologi skeptis. Ini adalah salah satu tantangan khas dari rahim filsafat Barat yang dihadapi oleh agama-agama dengan klaim-klaim kebenaran yang ada pada agama-agama itu. Ancaman ini disebut Hick sebagai “the skeptical thrust” atau tekanan dari epistemologi skeptis (Hick, 1990: 110). Pertanyaan-pertanyaan skeptis yang menekan berbagai agama itu adalah sebagai berikut: Jika apa yang dikatakan Buddha adalah benar, apakah yang diajarkan oleh Islam harus salah? Tekanan dari kaum skeptis lebih jauh lagi menyatakan; agama-agama yang berbeda-beda semuanya tidak benar, walaupun setiap agama mengklaim dirinya benar, bahkan tidak mungkin salah satu dari agama-agama itu adalah benar, setiap landasan untuk meyakini bahwa suatu agama tertentu adalah benar harus menjadi landasan untuk meyakini bahwa agama-agama lain adalah salah; menurut kaum skeptis, ada lebih banyak alasan untuk selalu meyakini bahwa agama selalu salah daripada meyakininya benar. Argumen skeptis ini muncul karena masing-masing agama dunia mengklaim dirinya benar.
Hick tidak setuju dengan kaum skeptis yang menyatakan bahwa ada banyak alasan untuk meyakini semua agama tidak ada yang benar. Berlawan dengan kaum skeptis, Hick membangun argumen untuk sampai pada satu hipotesis bahwa semua agama adalah benar.
Agama sebagai Persepsi
Konsepsi Hick tentang agama mengandaikan bahwa Tuhan tidak memberitahu manusia tentang diri-Nya melalui wahyu. Namun, ia mengandaikan bahwa manusia merumuskan sendiri pandangannya tentang Tuhan. Karena manusia mempunyai beragam kepala dan pikiran, pandangan manusia pun tentang Tuhan juga terdiri dari beragam pandangan atau persepsi. Tuhan itu ibarat gajah, sedangkan orang-orang beragama adalah seperti orang-orang buta yang meraba gajah itu. Hasil rabaan-rabaan itulah yang menghasilkan beragam persepsi. Singkatnya, setiap agama adalah persepsi setiap penganutnya tentang Tuhan.
Hick merumuskan jalan pikirnya tentang agama sebagai persepsi manusia sebagai berikut:
If we suppose that the Real is one, but that our human perceptions of the Real are plural and various, we have a basis for the hypothesis that the different streams of religious experience represent diverse awareness of the same limitless transcendent reality, which is perceived in characteristically different ways by different human mentalities, forming and formed by different cultural histories (Hick, 1990: 117)
Saya akan menyusun ulang argumen Hick di atas sebagai berikut:
1. Jika kita andaikan Tuhan yang satu itu dipersepsi oleh banyak manusia, maka banyak persepsi manusia tentang-Nya.
2. Tuhan yang satu itu dipersepsi oleh banyak manusia.
Jadi,
3. Banyak persepsi manusia tentang Tuhan yang satu.
Menurut Hick, ketika manusia berfikir tentang Tuhan yang satu, setiap manusia memiliki mentalitas yang berbeda (different human mentalities) sehingga ada banyak persepsi (plural human perceptions) tentang Tuhan itu. Berbagai persepsi ini membentuk banyak agama (plural religious traditions). Dari alur pikir ini, Hick berkesimpulan bahwa agama-agama yang plural adalah hasil mentalitas dan persepsi manusia yang plural tentang Tuhan yang satu. Dengan kata lain, agama adalah persepsi; agama-agama adalah persepsi-persepsi; pluralitas agama adalah pluralitas persepsi; pluralisme agama adalah pluralisme persepsi.
Pernyataan bahwa semua agama adalah benar, menurut Hick, adalah benar jika kita memandang bahwa semua agama adalah hasil persepsi manusia. Ia berkesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan antara konsep-konsep utama dan pengalaman-pengalaman dari agama-agama yang berbeda, kepercayaan-kepercayaan historis dan trans-historis mereka yang berbeda bahkan kadang bertentangan, mitologi-mitologi mereka yang sangat berbeda dan bertentangan, sistem-sistem kepercayaan yang beragam yang menjadi landasan semua agama adalah sejalan dengan hipotesis pluralistiknya: “the pluralistic hypothesis that the great world traditions constitute different conceptions and perceptions of, and responses to, the Real from within the different cultural ways of being human (Hick, 1989: 375-6).” Hipotesis bahwa tradisi-tradisi agama-agama besar dunia merupakan konsepsi-konsepsi dan persepsi-persepsi tentang, and respon-respon terhadap, Yang Nyata dari dalam cara-cara kultural umat manusia yang berbeda-beda. Singkatnya, agama adalah kebudayaan, hasil karya manusia. Agama hanyalah konsepsi-konsepsi yang dibuat manusia. Agama hanyalah persepsi manusia. Dan agama hanyalah respon manusia terhadap Yang Nyata.
Kritik terhadap konsepsi Hick tentang agama
Definisi agama dalam pluralisme filosofis ala Hick tidak menampung “Agama sebagai Wahyu.” Pluralisme model ini hanya mengakui “agama sebagai hasil persepsi dan respon manusia” kepada Tuhan. Namun, pluralisme model ini tidak mengakui “agama sebagai Wahyu” karena Wahyu adalah pengajaran atau pemberitahuan langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Dalam Islam, misalnya, wahyu bukan persepsi dan respons (pengetahuan) yang dihasilkan oleh manusia.
Hick sendiri mengakui kesulitan untuk menyelesaikan klaim-klaim yang bersumber langsung dari wahyu. Oleh karena itu, ia mengakui bahwa hipotesis pluralisme yang ia rancang tidak bermaksud untuk menyelesaikan klaim-klaim yang ada dalam wahyu. Tentang keterbatasan teori pluralismenya dalam hubungannya dengan wahyu, Hick menulis bahwa ada tiga sebab lahirnya berbagai klaim-kebenaran (truth claims):
…differences in modes of experiencing the divine reality; differences of philosophical and theological theory concerning that reality or concerning the implications of religious experience; and differences in the key or revelatory experiences that unify a stream of religious life…
…it is the third kind of difference that constitutes the largest difficulty in the way of religious agreement…It is, however, not within the scope of this book to suggest a plan for the reconstruction of Christian or other religious doctrines (Hick, 1990: 115-117).
Jadi, pluralisme Hick berdasarkan epistemologi bahwa manusia mengalami Tuhan; berfikir tentang Tuhan; meyakini-Nya. Semuanya itu berdasarkan persepsi manusia dan responnya kepada-Nya Karena persepsi manusia tentang Tuhan beragam, agama-agama menjadi banyak dan beragam pula. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu adalah hasil persepsi manusia. Di sini manusia mencari Tuhan; berfikir tentang Tuhan bahwa Dia adalah begini-begitu. Dari hasi berfikir itu manusia berkesimpulan bahwa Tuhan itu ada dan berbeda dengan manusia. Manusia terbatas, Tuhan tidak terbatas. Dan hasil pikiran-pikiran yang lainnya tentang Tuhan. Islam, misalnya, adalah hasil sekumpulan persepsi umat Islam tentang Tuhan. Di dalam agama Islam sendiri terdapat berbagai persepsi (pluralisme internal) tentang Tuhan. Apakah benar demikian? Persolan ini akan Saya bahas pada sub-bab selanjutnya.
Wahyu dan Persepsi
Menurut Saya, di dalam Islam informasi tentang Tuhan, Saya ketahui dari Quran (wahyu). Allah memberitahukan tentang diri-Nya kepada Nabi Muhammad melalui wahyu. Di dalam Quran juga terdapat informasi tentang agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Misalnya, berdasarkan informasi wahyu quran bahwa Isa as itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Adanya informasi wahyu Quran ini membuat saya sulit sekali menerima ajaran bahwa Isa (Yesus Kristus) adalah Tuhan apapun rumusannya. Saya yakin bahwa Quran adalah wahyu, Quran adalah informasi langsung dari Allah. Jadi, Quran bukan persepsi manusia (Muhammad). Informasi tentang Allah di dalam Quran adalah pemberitahuan langsung dari-Nya, bukan persepsi manusia. Jadi, bagi saya wahyu Quran adalah sumber pengetahuan terutama tentang Tuhan.
Dalam internal umat Islam, perbedaan persepsi tentang Tuhan dapat terjadi pada tingkat penafsiran terhadap informasi wahyu Quran. Misalnya pada tingkat wahyu, Allah berfirman: “qul hua Allahu ahad.” Kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah sepakat bahwa Allah itu Esa. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah Allah mempunyai sifat atau tidak. Tetapi, tidak ada diantara mereka yang menyatakan bahwa Allah itu Dua, Tiga, dan seterusnya dalam makna literalnya.
Pada tingkat persepsi manusia, saya dapat menerima proposisi bahwa Tuhan yang saya ketahui tidak sama dengan Tuhan-Itu-Sendiri. Tapi, yang menjadi persolan dalam Islam adalah bahwa persepsi saya itu bukan berangkat dari pemikiran murni, namun berangkat dari wahyu atau proposisi yang dinyatakan Quran. Misalnya, saya punya klaim-klaim kebenaran yang berasal dari Quran (wahyu). Apakah saya harus mengatakan bahwa klaim-klaim itu adalah persepsi saya saja? Bagaimana kalau saya tahu dari informasi Quran yang saya baca bahwa Allah itu Esa lalu saya meyakini bahwa Dia adalah Esa?
Misalnya, kalau seorang Muslim berdiskusi dengan seorang pluralis model Hick (Hickian), kira-kira jalan diskusinya sebagai berikut:
Pluralis Hickian :Agama adalah persepsi manusia tentang Tuhan.
Muslim :Saya yakin Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Pluralis Hickian :Itukan persepsi Anda saja tentang Tuhan. Tapi, saya hargai persepsi Anda itu. Persepsi Anda itu bisa jadi benar. Namun, Anda tidak akan tahu apakah Tuhan itu sendiri (di luar persepsi Anda) adalah Esa atau tidak, bahkan ada atau tidak. Apa yang Anda yakini adalah apa yang Anda persepsikan.
Muslim :Eh…tunggu dulu!… Saya tahu bahwa Tuhan itu Esa bukan hasil kesimpulan dari proses berfikir murni. Saya tahu bahwa Tuhan itu Esa dari informasi Quran (wahyu).
Pluralis Hickian :Oh begitu!…Saya kira itu persepsi Anda saja. Kalu begitu saya minta ma’af, karena yang Saya maksud agama sebagai persepsi tidak termasuk agama sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Itu diluar teori pluralisme Saya. Teori pluralisme Saya hanya berlaku untuk agama sebagai persepsi manusia terhadap Tuhan.
Dalam filsafat Islam secara epistemologis sumber pengetahuan ada dua macam: (1) pengetahuan yang turun (inzal, tanzil, nuzul) langsung dari Tuhan; dan (2) pengetahuan menaik atau hasil pemikiran manusia. Pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, bersumber langsung dari Tuhan itu sendiri dengan diturunkannya wahyu (nuzul al-qur’an) kepada Nabi Muhammad. Berbagai tafsir atas wahyu (Quran) adalah persepsi dan respon dari manusia. Jadi, tafsir adalah pemahaman manusia atas wahyu. Misalnya, Allah memberi tahu kita dalam Quran: qul huwa Allahu ahad. Berdasarkan informasi wahyu ini, para teolog sepakat bahwa Allah itu Esa, bukan dua, tiga, empat dst. Perbedaan pemahaman terjadi bukan pada jumlah Tuhan, namun dapat terjadi pada penafsiran makna Esa dalam hubungannya dengan sifat-sifat-Nya.
Bagaimana pandangan NDP HMI (Lama) tentang wahyu? Secara epistemologis Wahyu, menurut NDP HMI (Lama):
Wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada orang tertentu yang memenuhi syarat yang dipilih Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikan kepada seluruh manusia…
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti kumpulan atau kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun secara garis besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun meliputi namun mengandung keterangan-keterangan mengenai segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia, sampai pada hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (al-Nahl: 89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang pada ayat al-Quran, dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad.
Apa yang diungkapkan oleh NDP HMI (Lama) sejalan dengan pandangan para filosof Muslim tentang sumber pengetahuan:
In Islamic philosophy there are two theories about the manner in which the number of unknown objects is reduced. One theory stresses that this reduction is brought about by moving from known objects to unknown ones, the other that it is merely the result of direct illumination given by the divine world. The former is the upward or philosophical way, the second the downward or prophetic one (Shams C. Inati).
Terkait dengan proses penurunan wahyu Allah ini, Shahrur menjelaskan bahwa al-Inzal adalah konversi susunan ilahi bagi teks (nass) yang tersimpan di al-Lawh al-Mahfuz atu al-Imam al-Mubin—yang pada awal mulanya bukan dalam bahasa Arab, Turki, maupun Cina—dari susunan yang tidak dipahami manusia ke dalam bentuk susunan yang terucapkan yang bisa dipahami oleh manusia. Susunan yang bisa dipahami inilah yang disebut dengan adh-Dhikr yang tersusun dalam bahasa Arab (Qs. Yusuf 12: 22).At-Tanzil merupakan proses transformasi material ad-Dhikr yang diucapkan dan diujarkan dari Allah kepada Nabi melalui perantaraan Jibril. Allah swt menurunkan adh-Dhikr dengan susunan yang terucapkan supaya Nabi menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepadanya dalam kapasitasnya sebagai Rasul…(Syahrour, 2004: 186-187)
Apa yang akan dikorbankan umat Islam jika setuju dengan hipotesis pluralisme Hick?
  1. Wahyu adalah persepsi dan respons Nabi Muhammad terhadap Allah.
  2. Wahyu adalah karya Nabi Muhammad.
  3. Wahyu dari segi lafaz dan makna dari Muhammad.
  4. Semua agama adalah sama, yakni sebagai persepsi manusia terhadap Realitas.
  5. Semua agama adalah sama, yakni sama-sama benar.
  6. Tidak boleh menyakini agama sendiri paling benar, karena konsekuensi logisnya semua agama lain adalah salah.
Sampai di sini, saya telah menekankan pentingnya bagi kita umat Islam untuk membedakan antara pengetahuan yang dihasilkan oleh persepsi manusia dan pengetahuan yang bersumber dari wahyu Allah. Menurut hemat saya, berbagai pihak dari dalam kalangan umat Islam yang mengusung pluralisme agama (baca: yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar; setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah) telah gagal memposisikan wahyu dalam wacana pluralisme jenis ini. Bisa jadi mereka tidak mempertimbangkan wahyu; atau bahkan telah memandang wahyu sebagai persepsi manusia (Nabi Muhammad).
Menuju Sikap Etis
Bagi saya, toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran adalah termasuk wilayah etis; yaitu bagaimana sebaiknya kita berinteraksi sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara. Apakah untuk menjadi orang yang mempunyai sikap-sikap toleransi antar umat beragama, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran terhadap orang yang berbeda agama, kita umat Islam harus punya keyakinan bahwa semua agama adalah benar? Apakah dengan meyakini bahwa hanya agama kita yang benar, dan bahwa agama orang lain adalah salah, pada wilayah etis kita menjadi tidak toleran, tidak menghargai kebebasan beragama, tidak berlaku adil kepada orang yang berbeda agama?
Menurut saya, untuk bersikap etis—hormat, toleran, menghargai orang lain, menerima perbedaan, bekerja sama walau berbeda—kita tidak perlu merubah keyakinan dari meyakini agama orang lain salah menjadi meyakini agama orang lain adalah benar. Pluralisme hendaknya dibangun dengan semangat tetap menghargai perbedaan identitas masing-masing dan menghindari penyeragaman. Hidup dalam masyarakat yang plural tidak perlu mereduksi aqidah kita. Yang perlu kita kembangkan adalah bagaimana kita secara etis dapat hidup bersama, bekerja sama, tidak terjebak dalam konflik antar umat beragama, tanpa mereduksi aqidah. Dengan kata lain, walaupun kita meyakini agama kita adalah benar dan agama orang lain adalah salah, namun kita tetap tidak meninggalkan sikap-sikap toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran
Hak kebebasan beragama bersifat mutlak yang merupakan wujud dari ‘inner freedom’ (‘freedom to be’) termasuk hak asasi manusia yang paling inti, oleh karena itu bersifat non-derogable, dan harus dihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan kapanpun (Conde, 1999: 96/ MM. Billah).
Keyakinan adalah hak asasi manusia. Jika si A meyakini bahwa agamanya adalah yang paling benar hal itu merukan hak asasinya. Kita harus menghargai keyakinannya itu. Jika si A meyakini agama orang lain adalah sesat hal itu juga merupakan hak asasinya. Kita tidak boleh mengurangi keyakinannya itu.
Namun dalam kerangka etis, pandangan wahyu (Quran) dan pandangan kita tentang teologi agama lain (konsep ketuhanan) cukup kita bicarakan dalam internal umat Islam. Itu hanya untuk konsumsi internal umat Islam. Di hadapan umat beragama lain, misalnya, saya kira tidak etis jika kita berbicara tentang pandangan Quran dan pandangan kita mengenai agama lain. Apalagi jika kita secara demonstratif mengatakan kepada mereka: “Agama yang Anda yakini adalah sesat dan salah!” Tidak etis karena bisa menyakiti perasaan orang lain dan orang lain merasa dihina. Jadi, jika secara teologis kita meyakini bahwa agama orang lain adalah sesat, ada etika yang harus kita jaga. Yakni, ketika kita mengekspresikan keyakinan itu baik secara lisan maupun tulisan, kita harus memperhatikan kapan dan di mana kita menyatakannya sehingga tidak ada yang merasa terhina dan tersinggung.
Hak untuk mengejahwantahkan (mengekspresikan) agama atau keyakinan (misalnya, hak menyebarkan agama, hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak (freedom to act) yang dapat ditangguhkan, diatur, dan dibatasi (Nowak & Vospernik)à Pasal 18 (3) ICCPR; Pasal 9 (2) ECHR; Pasal 12 (3) ACHR (MM. Billah).
Dalam UDHR (pasal 18) dan ICCPR (pasal 18), “freedom of religion” selain kebebasan berubah keyakinan juga mencakup kebebasan “to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” Di sini sangat jelas sekali bahwa kebebasan berkeyakinan cakupannya sangat luas sekali, tidak hanya keyakinan dalam hati, keyakinan yang dikomunikasikan, namun sampai tahap melakukannya.
Berkeyakinan selama masih dalam hati, belum diekspresikan dan diamalkan berada dalam wilayah kebebasan mutlak yang tidak bisa dijangkau oleh hukum. Namun ketika keyakinan itu diekspresikan dan diamalkan, maka kebebasan berkeyakinan dapat disentuh oleh hukum dan dibatasi. Alasan yang perlu untuk melakukan pembatasan adalah perlindungan atas “(a) rights or reputations of others; (b) protection of national security; (c) public order; (d) public health; (e) public morals.” (ICCPR Pasal 18)
Contoh yang paling mutakhir adalah keyakinan berjihad, yakni berjihad dengan mengebom orang-orang yang diyakini sebagai kafir. Dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, seseorang boleh saja punya keyakinan bahwa orang yang ia yakini sebagai kafir harus dibunuh. Namun, dalam negara hukum seperti Indonesia ini, keyakinan itu tidak boleh diamalkan karena membahayakan keselamatan orang lain dan ketertiban umum.
Pembatasan-pembatasan itu mengandung pesan: “you are free to believe as you like, but, for goodness sake, don’t act on it!” (Adams, 286). Silahkan Anda mempunyai keyakinan apa pun, namun jika keyakinan itu mengganggu dan membahayakan keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral atau hak-hak dasar serta kebebasan orang lain, jangan mengamalkannya!

Meskipun pro-kontra terjadi, tetaplah dia seorang tokoh yang dihormati, sehingga Bang Imad yang kebetulan tahun 2003 lalu pernah berkunjung di Pontianak dalam rangka Intermediate Training (Latihan Kader II) HMI Cabang Pontianak, sekaligus memberikan kuliah NDP, mengutarakan kekagumannya kepada sosok Cak Nur, meskipun corak pemikiran mereka cenderung berbeda.
Meski belum pernah berjumpa dengan Cak Nur secara langsung, tapi jujur saja harus diakui, bahwa warna pemikiran seorang anak manusia ini telah memberikan warna dan karakter. Pemikiran-pemikirannya juga rekan-rekan sejawatnya seperti Alm. Kanda Ahmad Wahib, Bang Imad, Kanda Djohan, Kanda Dawam dll, kerap didiskusikan berkenaan dengan konteks kekinian. Semangat kekaderannya selaku tokoh yang disegani dan menjadi referensi serta dijadikan teladan. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara nyata, tapi corak pemikirannya telah membekas dan menggairahkan apalagi sedari dini memang menjadi rujukan dalam NDP HMI sebagai Ideologi gerakan, maka tak pelak Cak Nur telah menjadi bagian dari kancah pemikiran HMI khususnya, ummat dan bangsa secara luas.
Susah memang mencari tokoh sekaliber Cak Nur, seperti diakui oleh Fachry Ali, bahwa selama mereka di Ciputat coba terus membangun kesadaran pemikiran dan intelektualitas agar bisa menjembatani generasi intelektual agar tidak terputus, tapi tetap saja harus mengakui mereka belum bisa menyamai Cak Nur, makanya gerakan mereka adalah mengembangkan gagasan Cak Nur secara kolektif dan Harun Nasution tentunya.
Kepiawaiannya dalam mengelaborasi term-term pemikiran modern dan kekayaan intelektual beliau dalam memahami teks-teks dari tradisi Islam klasik adalah keunggulannya. Tentunya karena beliau juga memahami kajian-kajian hermeneutic, semantic atau tata bahasa Arab yang membuatnya sangat kaya akan khazanah Intelektual baik kontemporer maupun klasik. Sebagaimana kita ketahui ciri khas kaum modernis adalah orientasi pada perkembangan ilmu di Barat dan cenderung berpikiran terhadap pemikiran tradisional. Aliran modernis mempelajari Barat modern maupun Islam klasik. Mereka bersikap empati dan sekaligus kritis terhadap keduanya. Kapasitas seperti itu dimiliki oleh seorang seperti Nurcholish Madjid secara prima, Tak banyak yang mempunyai kemampuan seperti itu, paling banter dimiliki oleh Gus Dur, Syafi’i Maarif (rekan seperguruan murid Fazlur Rahman semasa di Chicago), Jalaludin Rahmat, Syu’bah Asa dan Djohan Effendi.
Bisa jadi karena kontribusi pemikiran beliau, sehingga Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI menjadi bukti pengakuan, meski bukan itu harapan beliau. Sehingga seperti profil yang disiarkan oleh Metro TV bahwa kesejahteraan Negara-Bangsa yang berperadaban merupakan pandangan idealisnya. Bahwa perdamaian, semangat pluralis dan demokratis adalah cita-citanya, sehingga julukan yang wah…sebagai Guru Bangsa dan sebagainya disematkan kepadanya.
Yah, itulah Cak Nur, ibarat tiada gading tak retak, dengan segala kelebihan dan kelemahan selaku manusia, dengan segala perbuatan baik dan buruk. Beliau telah menghadap Ilahi dengan damai. Kita telah kehilangan salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer, mudah-mudahan akan lahir Nurcholish-Nurcholish baru.

SEJARAH HMI

Dampak dari penjajahan Belanda, yang menyebabkan dunia pendidikan dan kemahasiswaan di Indonesia telah tercekoki oleh unsur-unsur dan sosok pendidikan Barat yang mengarah pada sekulerisme dengan meninggalkan agama, di setiap aspek kehidupan umat manusia. Kenyataan memang menunjukkan bahwa kehidupan kemahasiswaan berada dalam krisis keseimbangan, dimana iman dan ilmu tidak ada keserasian. Demikian alam dan situasi kehidupan pendidikan di Indonesia sebelum kehadiran HMI. Di pihak lain sebelum lahirnya HMI telah berdiri Perserikatan Mahasiswa Islam (PSI) yang dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyatakan bahwa organisasi ini berdasarkan non agama dan non politik, dasar pertama tentu sangat bertentangan dengan Islam. Sedang dasar kedua, non politik memang pada prinsipnya semua organisasi kemahasiswaan itu non politik. Di Surakarta terdapat Serikat Mahasiswa Islam (SMI) yang tokoh-tokohnya gembong PKI. Kedua organisasi kemahasiswaan itu setali tiga uang, tak mengerti peluang terhadap perkembangan agama.
 Pemrakarsa berdirinya HMI pada waktu itu membayangkan bagaimana kehidupan mahasiswa-mahasiswa itu kelak sebagai calon sarajana dan pemimpin umat yang asama sekali tidak mendapat pengajaran agama Islam di bangku perkulaiahan. Betapapun kelak senadainya para intelektual yang semata-mata mengutamakan ilmu pengetahuan tanpa didasari oleh ilmu agama sama sekali, akan tampil sebagai tokoh masyarakat dan pemimpin bangsa. Pengalaman dan fakta menunjukkan dan sebagai saksi sejarah siapa yang dapat menguasai generasi muda dan cendekiawan pasti akan dapat menguasai masa depan bangsa. Sekarang timbul persoalan, bagaiamana cara mengubah kondisi yang kurang menguntugkan itu? Sehingga tercipta suasana harmonis dalam dunia pendidikan dan kemahasiswaan yang semata-mata tidak mengutamakan rasio dan ilmu pengetahuan tetapi mutlak harus diimbangi jiwa dan semangat agama.
 Dari problem ini, sejak Nopember 1945 timbullah gagasan di benak seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (UII), yang selama ini selalu mengikuti dan memperhatikan segala aspek dan aneka ragam kehidupan mahasiswa dan perguruan tinggi khususnya, maupun perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Indonesia umumnya, untuk mendirikan organisasi mahasiswa sebagai alat perjuangan untuk mencapai cita-citanya. Tersebutlah nama Lafran Pane, ia adalah Ketua III SEMA STI bidang kemahasiswaan. Untuk mendirikan organisasi mahasiswa, lafran Pane tidak bekerja sambil lalu saja, ia meminta saran dan pemikirn Rektor STI, yaitu Prof. A. Kahar Muzakir. Dan pendukung idenya itu bukan sembarangan orang diikutsertakan, ia amat selektif sekali. Mengingat kebutuhan yang mendesak, Lafran Pane berjihad, mencari jalan keluar dari ketidakmengertian beberapa pihak tentang niat baiknya. Yaitu, bahwa organisasi ini memang harus didirikan. Memang sudah takdir Allah, disaat bapak Husaen Yahya yang memberi jam kuliah ilmu tafsir, memenuhi permintaan Lafran Pane, waktunya digunakan untuk rapat. Dan pada saat itu pula pada tanggal 5 Februari 1947 bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, secara formal semua peserta rapat menyetujui didirikannya organisasi mahasiswa Islam, yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bertujuan : 1. Mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam Kemudian mengesahkan Anggaran Dasar HMI dan adapun ART akan dibuat kemudian hari.
Dua peristiwa penting yang mengiringi kelahiran HMI pada waktu itu adalah : 1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad tanggal 12 Rabiul Awal 1366 H 2. Sidang kabinet di gedung Agung Yogyakarta Ternyata apa yang diputuskan mahasiswa-mahasiswa di STI dengan berdirinya HMI pada tanggal yang sama, dimana disebutkan bahwa HMI bertujuan mempertahankan Negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia adalah sejarah dengan hasil kabinet tersebut. Berarti HMI selalu ada dan berada dalam timbul tenggelamnya Negara RI. Gelombang yang pasang surut reaksi-reaksi yang dialami HMI adalah : 6.1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PIY) Karena bagi Malino Ahmad (ketua PMY) merupakan tantangan untuk melebarkan pengaruhnya di kalangan mahasiswa dan cendekiawan yang saat itu dibutuhkan sekali, maka PMY (termasuk PSI) melancarkan propagandanya bahwa HMI pemecah belah mahasiswa. Rekasi ini bersifat ideologis, karena PMY yang jelas tidak beragama. 6.2. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Lafran pane adalah orang yang belum dikenal oleh Masyumi maupun GPII, dengan sendirinya dicurigai karena ada kekuatan Islam yang tumbuh diluar Masyumi.
GPII yang pada waktu itu berorentasi kepada Masyumi secara spontan Ia memberikan realisasi atas kelahiran HMI. Isu yang dilancarkan oleh PMY temasuk oleh GPII ialah bahwa HMI merupakan pemecah pemuda dan umat Islam. Persoalannya pada Lafran Pane bukan karena tidak setuju dengan Masyumi dan GPII, tetapi yang urgen organisasi harus bersifat independen. 6.3. Pelajar Islam Indonesia (PII) Kendati PII berdiri pada tanggal 4 Mei 1947 (lebih muda dari HMI), tetapi ia juga memberikan reaksi atas kelahiran HMI dengan motif yang hampir sama dengan GPII, karena anggota dan pengurus PII terdapat juga rekan-rekan dari GPII. Sikap tidak setuju ini mereka cetuskan dalam kongres I PII di solo tanggal 14-16 Juli 1947. Namun kemudian PII berubah sikap tatkala PII melakukan Konferensi besar I, di Ponorogo pada tanggal 4-6 November 1947. Setelah Lafran Pane diminta menjelaskan maksud dan tujuan serta latar belakang sejarah berdirinya HMI, yang pada pokoknya, bidang kemahasiswaan bukan merupakan bidang garap, bidang PII maupun GPII, karena ia mempunyai ciri tersendiri, untuk itu HMI hadir. Sehingga pembagian lapangan kerja dari berbagai aspek kemasyarakatan terlaksana. Sejak itu PII maupun GPII menerima dan memahami kehadiran HMI.
Fase-fase Perkembangan HMI 7.1. Fase Pengokohan (5 Februari s/d 30 November 1947) Upaya yang dilakukan untuk memperkenalkan dan mengembangkan HMI waktu itu antara lain: a. Cerama-cerama ilmiah dari pemimpin-pemimpin terkemuka b. Memanfaatkan kongres PPMI di Malang pada tanggal 8 Maret 1947 untuk mencari dukungan HMI dari luar daerah. Berdirinya HMI cabang Klaten, Solo dan Malang. c. Mendukung dalam kepengurusan PB HMI mahasiswa seperti lulusan STI seperti Mintateja mahasiswa FK UGM, kemudian muncul wajah baru, Achmad Tirto Sudiro, Ushuludin Hutangalung dan lain-lain. 7.2. Fase Perjuangan Bersenjata (1947-1949) a. Tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani perjanjian Linggarjati antara Belanda dan Indonesia b. Tanggal 21 Juli 1947, Agresi Kolonial I, HMI bersama pemerintah dan rakyat melaqkukan perlawanan c. Tanggal 17 januari 1948, terjadi perjanjian Renvil, HMI bersama Masyumi tidak menyetujui d. Tanggal 18 September 1948 terjadi teror berdarah di Madiun oleh PKI melalui PPMI, HMI membentuk koprs mahasiswa dengan inti kesatuan tempur HMI yang berjuang bersama tentara siliwangi Jawa Barat melawan PKI. Dan pada saat itu pula, kekuatan yang dilancarkan "Ikrar 17 Agustus 1945" dalam tubuh umat Islam. Maka untuk mecakup semua lapanngan pekerjaan, pada tanggal 28 Desember 1945 di gedung seni seno Jogyakarta diadakan kongres muslimin Indonesia II setelah kemerdekaan, dihadiri 129 organisasi. Dan salah satu keputusan kongres menyatakan bahwa HMI sebagai organisasi Mahasiswa Islam. Lembar-lembar baru telah terbuka dengan keeksistensian HMI ditenga umat bangsa Indonesia.
 Rupanya persatuan dan kesatuan ini tidak berumur panjang, karena praktek politik yang dedaken dikalangan umat Islam sendiri yang pada akhirnya Masyumi pecah. 1. Tanggal 30 November 1947 PERTI memproklamirkan diri sebagai partai 2. Tanggal 17 Juli PSII kembali berdiri sebagai partai 3. Tanggal 06 April 1947 NU memproklamirkan diri sebagai partai 4. Akhirnya Masyumi pun berdiri sendiri sebagai partai Dampak dari kejadian ini mengovakan keutuhan perjanjian seni seno maka tumbulah Organisasi pelajar, Mahasiswa dan keguruan untuk kepentiangan-kepentingan partai tersebut. 7.3. Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963) Adapun tahapan-tahapan pertumbuhan HMI secara garis besarnya adalah; a. Pembentukan cabang baru b. Mimindahkan PB HMI dari Yokyakarta ke Jakarta c. Menentukan atribut-atribut HMI d. Menetapkan nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI e. Pembentukan BAKDO (Badan Koordinasi) HMI tingkat promosi f. Pembentukan lembaga-lembaga HMI Adapun yang bersifat umum antara lain meliputi; a. Pendayagunaan PPMI b. Penegasan Idependen HMI c. Mendesak emerinta agar mengeluarkan UU Perguruan Tinggi d. Mendesak pemerintah agar pelajaran Agama diajarkan sejak SD sampaiPerguruan Tinggi (Secara terinci dapat dilihat pada buku "Sejarah Perjuangan HMI" karangan Drs. Agus Salim Sitompul, pada bab V, hal 98 ) 7.4. Fase Tantangan(1964-1965) Sejak HMI melalui korps mahasiswa turut mengganyang PKI pada peristiwa Madiun 1948, dendam kusumat PKI sebagai front HMI tak kunjung padam. Karena itu ia memandang HMI sebagai Front islam terkuat sesudah Masyumi dan GPII.
Maka dihembus-hembuskanlah niat jeleknya, baik melalui kaki tangan PKI maupun organisasi lain yang ia peralat untuk secepatnya menuntut pembubaran HMI. Namun Soekarno sebagai presiden RI mengatakn "Go Ahead HMI", kenyataan akhirnya menunjukkan PKI-lah yang justru dilarang di Indonesia setelah peristwa 30 September. 7.5. Fase Kebangkitan HMI sebagai pelopor orde baru dan angkatan 66'(1966-1967) a. Penumpasan PKI merupakan suatu momentum yang menguak fase baru memasuki perjuangan menuntut tegaknya keadilan dan kebenaran serta perbaikan ekonomi rakyat PPMI yang sudah ditunggangi PKI tidak bisa banyak bisa diharapkan untuk menyuarakan keinginan mahasiswa pada saat itu (yang akhirnya bubar), atas prakarsa ketua PB HMI Mar'ie Muhammad, pada tanggal 23 oktober 1965 untuk mendirikan KAMI yang dikenal dengan TRITURANYA-nya. b. Setelah KAMI dibubarkan pada tanggal 27 Februar 1960 muncul KAPPI yang didirikan pada tanggal 27 Februari 1966 berperan sebagai penerus KAMI yang dipimpin oleh Husni Tamri( ketua PII ) c. Tanggal 4 maret 1966 didirikanlah lasykar Arif Rahman Hakim dengan komandannya Fahmi Idris ( ketua HMI Jaya ) 7.6. Fase Pembangunan Nasional (1969-sekarang)
Lahirnya babak baru dalam perjuangan bangsa Indonesia yakni Orde Baru, maka menuntut seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin kompleksnya masalah pembangunan, baik sebagai akibat peningkatan harapan masyarakat terhadap kehidupan yang lebih baik maupun dampak negatif dari pilihan strategis dan pelaksanaan pembangunan mengharuskan kita untuk senantiasa berfikir kreatif terhadap masalah -masalah pembangunan maupun kemasyarakatan sehingga dapat melahirkan sikap bangsa terhadap pentingnya kualitas sumber daya manusia. Sebagai organisasi kader, maka HMI dituntut untuk tanggap terhadap kecenderungan-kecenderungan ini, supaya HMI dapat berperaan Aktif dalam setiap pembangunan dan perkembangannya. Untuk itu tidaklah mengherankan jika HMI memberikan masukan yang berarti (pada masa pembangunan ini) diantaranya yaitu, menyatakan (pernyataan) PB HMI tentang lembaga kepresidenan dan lembaga UUD1945 yang isinya menyatakan dukungan HMI kepada Sidang Umum MPR untuk menetapkan Jenderal Soeharto untuk menjadi Presiden dan tidak mengubah UUD 1945, karena saat ada usaha untuk mengubah UUD sehingga menggoyahkan kepemimpinan Nasional. Di bidang pembinaan dan pembaharuan Umat, HMI memberikan masukan terhadap metode dakwah islam (1972), disamping itu juga memberikan masukan yang berarti mengenai undang-undang perkawinan (20 tahun untuk waita dan 25 tahun untuk pria). Di bidang kepemudaan HMI bersama-sama organisasi yang lain membentuk kelompok Cipayung(HMI,PMII,GMNI,GMKI,dan PMKRI)sebagai wadah untuk menampung aspirasi pemuda sekaligus merupakan proses mendinamisasi kretifitas pemuda. Kelompok ini di bentuk tahun 1972. Selain itu secara perorangan banyak alumni HMI yang duduk dipemerintahan, swasta, organisasi dan sebagainya. Dewan bidang kealian masing-masing untuk memberikan darma baktinya dan sumbangsihnya bagi pembangunan dan mengisi kemerdekaan RI. Apa yang telah dikemukakan itu adalah cermin perjuangan HMI pada setiap babak sejarah masa silam yang diperaninya. Itu semua diperbuat HMI tanpa pamrih semata-mata untuk kesejahteraan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Diakui atau tidak semua telah menjadi kenyataan dan hasilnya pun telah sama dirasakan dan dihayati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Membaca buku "Hari-hari Yang Panjang" dari Dr. Sulastomo,  memperlihatkan bahwa HMI adalah sebuah organisasi yang sudah terlalu banyak makan garam dan teruji. Teruji dalam melewati saat-saat yang sangat kritis dalam perjalanan keorganisasiannya yang terkenal sudah sangat berpengalaman dan mumpuni.  Itu dikatakan teruji dalam skala perjuangan menghadapi musuh yang nyata-nyata ingin menghancurkan HMI, seperti PKI, CGMI dan musuh lainnya.
                Akan tetapi ketika HMI dihadapkan pada masa-masa damai, dimana musuh utama HMI bukan lagi terlihat sebagai makhluk yang berujud secara fisik, maka perlu dipertanyakan keterujian HMI itu. Apa maksudnya? Ketika negara ini berada dalam kondisi diperingkatkan oleh "International Corruption Watch" (ICW) pada awal tahun 2000 bahwa Indonesia termasuk negara kedua terkorup di Asia. Sekarang Indonesia sudah ditempatkan pada peringkat ke 5 terkorup di Asia. Manakah peran HMI yang biasanya gigih menentang kezaliman, ketidakbenaran, kecurangan dan kelancungan negara dalam menyikapi masyarakat atau rakyat Indonesia?
                Apakah HMI telah menyatu dengan birokrasi (baca:birokrat) negeri yang sudah terkenal sangat korup sebelum 'managemen Indonesia baru' lahir? Katakanlah bahwa korupsi telah dilakukan oleh petinggi-petinggi negara sejak zaman Ken Arok, sampai zaman Senopati, Dari zaman kerajaan Pasai sampai kerajaan Mataram yang Islam. Dari Zaman Van der Kapelen dan Daendels sampai  Van Mook di zaman Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Dari zaman Jepang sampai lahirnya Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Naah, setelah Indonesia merdeka, pada pemerintahan kedua (maksudnya presiden kedua) Lahirlah Daendels Indonesia yang bernama Soeharto. Kenal dengan Daendels di zaman Belanda?
                Orangnya keras, disiplin, mampu membangun jalan utama sepanjang pulau Jawa dan banyak pembangunan spektakuler lainnya seperti tanam paksa yang memakmurkan negeri Belanda hingga mencetuskan politik "Balas Budi" sebagai antipoda dari politik pemerasan habis-habisan Daendels.    Di zaman Indonesia Merdeka juga telah lahir orang setara Daendels, keras, sangat disiplin dan membangun dengan hebat perekonomian Indonesia. Tapi kedua-duanya (Daendels zaman kolonial dan Daendels zaman Merdeka) tak mampu memberangus korupsi sampai ke akar-akarnya. Bahkan korupsi makin subur dan sulit dihilangkan.

HMI dalam Cita
                HMI didirikkan oleh bapak Raflan Pane di Yogyakarta pada tahun 1949 adalah dengan maksud luhur yang tiada bandingnya. Bahwa bapak Raflan Pane bemaksud menjejakkan nilai-nilai Islam di kalangan mahasiswa negeri ini dengan semangat gentlemen, dengan kepala tegak, rasional dan kukuh dengan ke-Islamannya. Cita ini kemudian dilanjutkan oleh pemikirnya yang brilian, Nurkholish Majid (Cak Nur) yang membuat satu peta kemajuan berpikir anak-anak HMI agar kritis, berpikir kritis dan rasional dan bekerja dengan teliti, rapi dan tangguh. Itulah yang pernah saya pelajari tahun 1982 yang tertuang dalam Nilai-nilai perjuangan Dasar (NDP) HMI di Yogyakarta.
                Selain itu, HMI dengan kader-kadernya juga diarahkan atau dibentuk menjadi seorang muslim yang beriman, yang bersih lahir dan batin, yang berwawasan luas, yang beriman kuat. Tetapi dalam masa-masa selanjutnya, ketika pembangunan ramai-ramai dilaksanakan dengan program REPELITA atau PELITA  maka anggota-anggota HMI mulai berserakan di berbagai birokrasi Indonesia moderen. Maka setelah HMI selesai berjuang melawan musuh-musuhnya di zaman Orde lama semacam PKI, CGMI, bahkan sosok almarhum presiden Soekarno juga dianggap orang yang menjadi penentu terakhir hidup matinya HMI, maka organisasi terbesar, tersolid dan termaju di tanah air ini lolos dari cobaan yang sangat berat dan sulit dijalani. Namun personal-personal HMI lupa ketika mereka di zaman Orde baru, dimana mereka dengan sikap yang tegar memasuki jenjang-jenjang birokrasi dan kepartaian yang marak pada saat itu. Mereka lupa bahwa era ini adalah ujian yang kedua setelah mereka lolos dari ujian pertama.
                Pada ujian pertama yang dikeroyok oleh berbagai oranisasi yang ingin HMI hancur-lebur, mereka (personal HMI) merasakan bahwa cita ideal mereka telah terselamatkan, mereka sebagai anak-anak HMI telah mampu melewati ujian yang sangat berat itu. Akan tetapi, pada masa ujian kedua yang tidak terasa adanya gembar-gembor perjuangan seperti pada zaman Orde Lama yang melahirkan satu kata "Langkahi Mayatku, Sebelum Bubarkan HMI". Adakah kata-kata seperti itu muncul ketika pada masa Orde Baru seorang anggota HMI berkata dengan lantang: "Langkahi Mayatku, Sebelum Aku lakukan Korupsi". Atau semboyan lainnya dengan gegap gempita:"Ganyang Korupsi, Hancurkan Korupsi, Lumatkan Korupsi".
                Tampaknya bagi bangsa Indonesia yang pintar sekalipun (sebagaimana personal dan anggota HMI) sudah menjadi kodratnya bahwa : "Melawan musuh yang tak terlihat jauh lebih sulit dari melawan musuh yang nyata".            

HMI dalam Realita
                Itu adalah cita yang ditanamkan tokoh pendiri HMI sejak awal, bahwa melawan ujian pertama HMI sukses, dan bahkan sangat sukses. Tetapi dalam melawan musuh yang tak kelihatan HMI sangat sukses. Namun ketika musuh yang datang tak terlihat, HMI ketar-ketir, bahkan diperangkap oleh musuh berkoordinasi dengan musuh secara baik dan sempurna (ingat beberapa tokoh besar HMI terindikasi sebagai koruptor berat) maaf!
                Dalam kondisi Indonesia sedang dikooptasi oleh tindakan korupsi dan koruptor secara lebih massal dan lebih berani, adakah cita HMI ingin dilekatkan kembali ke tubuh organisasi yang menurut pendirinya :"Ingin menjadikan Indonesia negeri Muslim yang maju, jaya dan menyambut kebangkitan Islam kedua". Bahwa Islam telah menjadi ikon kemajuan mondial pada abad pertengah sampai zaman Renessan. Bapak raflan Pane terobsesi ingin mengulangi kejayaan negeri-negeri Muslim yang dipenuhi ilmuwan yang bermoral, rajin, tangguh dan teruji oleh hempasan zaman dan waktu.
                Tapi kenyataannya, belum masa kejayaan itu tercapai, HMI telah keok (kalah dan takluk) oleh musuh yang berinitial lengkap KKN. Namanya cukup indah dan cukup banyak yang mencintai menjadi permaisuri tercantik di masa Orde Baru, bahkan di masa Reformasi. Alangkah bijaknya bila personal HMI mampu melepaskan permaisuri cantik itu (menceraikannya) dan melawannya sebagai musuh, yang selama ini ternyata telah mengelabui hati dan pikiran anak-anak HMI bahwa KKN itu adalah istrinya, anaknya bahkan dirinya sendiri yang teramat ia cintai.
                Ternyata.. .GANYANG KORUPSI! GANYANG  KOLUSI! GANYANG NEPOTISME! Biarkan Rakyat Indonesia Bahagia, Sentosa dan Damai senantiasa! Anak-anak HMI 2008 harus berteriak seperti itu hari-hari ini, seperti kakak-kakak mereka meneriaki PKI, CGMI pada masa Soekarno!

Oleh: Surya Makmur Nasution*
Salah satu kekuatan yang dimiliki Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak dilahirkan 5 Februari 1947 lalu, adalah tradisi intelektualitasnya atau kecendekiaannya. Jargon sebagai organisasi gerakan pembaru atau gerakan intelektual melekat dalam diri HMI. Cita-cita menjadikan HMI sebagai ?inetelektual yang ulama, atau ulama yang intelektual,? adalah salah satu misi suci HMI.
Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di Tanah Air, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community ).
Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kadernya (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.
Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam perjalanan pendirian HMI yang dipelopori oleh almarhum Lafran Pane, diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda idelogis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, Islam.
Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogya 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi , politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII).
Dari cerama-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga HMI dengan cepat populer namanya di nusantara. HMI pun mengembangka sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademi di seluruh nusantara (Dr H Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keisalam Keindonesiaan HMI (1947-1997), halaman 2, April 2002).
Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen. Oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI (1951-1953) Dahlan Ranuwihardjo pernah memperdebatkan tentang konsep negara Islam. Ketika itu Dahlan mengirim surat kepada Bung Karno sebagai Presiden RI untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh Bung Karno, saat Dies Natalis Universitas Indonesia (UI), menyampaikan, penghargaan atas pendapat HMI terhadap permasa lahan tentang negara Islam yang saat itu diperdebatkan (Sudirman Tebba, Kembalikan HMI Sebagai Gerakan Intelektual, Visi Kita, Nomor 15/Th.VI/Agustus 2005.
Nur Cholish Madjid atau Cak Nur pernah berdebat dengan Profesor HM Rasyidi, mantan Menteri Agama I RI, atas gagasannya tentang sekularisme dan modernisme yang disebutnya bukan westernisme. Gagasannya tentang ?Islam yes, partai Islam no,? juga mendapat reaksi dari berbagai kalangan.
Bahkan Cak Nur pernah berdebat segitiga dengan Mohamad Roem dan Amien Rais tentang tulisannya di Panji Masyarakat tentang ?Tidak Ada Negara Islam?. Dari perdebatan tersebut, akhirnya antara Cak Nur yang saat itu berada di Amerika Serikat dan Mohamad Roem di Indonesia melakukan surat menyurat atau korespondensi dalam memperdebatkan gagasan Cak Nur.
Pada tahun 1992, Cak Nur pun pernah berdebat dengan Dr Daud Rasyid di Masjid Sunda Kelapa yang dikenal begitu kritis dan sangat menentang pengembangan pemikiran sekularisme dan modernisme serta pluralisme di dalam Islam. Daud Rasyid yang pernah aktif di HMI Komisariat Fakultas Syari?ah IAIN Sumatera Utara tak segan-segan mengeritik pemikiran seniornya yang dianggapnya dapat membahayakan aqidah umat.
Di dalam HMI, tradisi menghargai perbedaan pendapat, kemerdekaan berpikir, interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, merupakan nilai-nilai identitas kader (NIK) atau belakangan disebut nilai dasar perjuangan (NDP). Inti NDP HMI yaitu menegaskan nilai-nilai ketauhidan, keimanan (keyakinan), dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai universal keadilan, persamaan dan kesederajatan) sebagai individu dan social, merupakan jati diri HMI.
Dalam konteks itulah, HMI sesungguhnya harus hadir dalam gerak dan dinamika zaman yang senantiasa mengedepankan gerakan intelektualnya dalam bingkai nilai-nilai keislaman, dan kemanusiaan dan kebangsaan.
Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur?an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur?an dan Hadis Rasulullah Muhammad SAW.
Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Qur?an Surat 16 (An-Nahl) ayat 125 berbunyi, ? Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog/berdiskusi) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.?
Dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur?an begitu indah memberi pesannya, ?Hai orang-orang yang beriman, ta?atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur?an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.? (QS 4 (Annisa) 59).
Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat sesuatu rahmat, ?ikhtilaful ummati rahmat?. Nabi pernah mengingatkan sahabat yang hendak pergi ke Bani Qainuqa, agar melaksanakan salat sebelum sampai ke tujuan. Oleh sahabat, perkataan Rasul itu, dilaksanakan beragam oleh para sahabat. Ada yang me ngerjakan salah di tengah jalan, dan ada yang sudah sampai ke tujuan. Ketika kembali ke Madinah, lalu hal itu diceritakan, oleh Nabi keduanya dibenarkan.
Abu Bakar Sidiq pernah memerintahkan untuk memerangi nabi-nabi palsu yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh Umar bin Khattab, kebijakan Abu Bakar tidak disetujui. Tapi, Abu Bakar menegaskan ke Umar, soal akidah harus diselesaikan secara tegas. Oleh Umar, kebijakan Abu Bakar akhirnya dapat dipahami dan dihargainya.***

MEMPERTEGAS SIKAP INDEPENDENSI HMI
(HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM)
Oleh: Syafi’il Anam
Pada dasarnya, ada tiga orientasi dasar yang selalu dipegang oleh HMI yang beranggotakan ratusan ribu mahasiswa ini. Yakni orientasi Keislaman, Kemahasiswaan dan Kebangsaan. Ketiganya selalu diusahakan mendapat porsi seimbang, meski dalam prakteknya kadang-kadang timpang. Kultur ini yang kadang-kadang kurang dimengerti oleh sebagian anggota HMI sendiri, sehingga selain menjadi aktivis Organisasi Mahasiswa Intra Kampus (OMIK) dan nilai akademisnya mumpuni, juga bisa bergaya dan berfikir layaknya tokoh Islam, ataupun bisa bergerak dengan orientasi mengontrol pemerintah. Menitik beratkan pada salah satu dimensi tersebut, jelas tidak kena bagi kultur HMI yang menetapkan dirinya bersifat independen.
Independensi Etis
Independensi HMI cukup mendapat sorotan, dan penegasan sampai sekarang. Ini diawali oleh suatu hipotesa, bahwa sekarang HMI dirasakan sudah mulai berat sebelah orientasinya. Iklim HMI yang serba demokratis, terbuka dan tidak berpihak pada suatu kelompok kekuatan politik manapun perlu dikembangkan dan dijaga baik-baik. Semua Kader harus membangun citra dan membuktikan pada semua pihak, bahwa HMI adalah ‘partner group’ dalam membangun Indonesia ini, bukannya ‘counter group’ yang perlu dicurigai dan ditakuti. Lantas tentang majemuknya ‘aliran agama’, budaya, suku, dan latar belakang sosial-politik-pendidikan serta yang lainnya nampak menjamur di Indonesia, adalah ujian bagi HMI untuk mempertahankan Independensinya.
Dan karena kita ini berada dalam ruang dan waktu, yakni Indonesia, mau tidak mau HMI harus mempunyai komitmen kebangsaan, sebab memang di bumi Indonesia ini Himpunan dilahirkan. Landasan Historis tersebut selaras dengan latar belakang lahirnya HMI di bumi Nusantara. Semangat nasionalisme dan kesetiaan pada Bangsa Indonesia bagi HMI tidak perlu diragukan lagi.
Bahkan ada idea yang “cukup simpatik” dan seharusnya mendapat respon akademis dari para seluruh Anggota HMI lainnya. Warna ke Indonesiaan ini ingin lebih dipertegas lagi wujudnya oleh aspirasi yang diwujudkan oleh salah seorang Kader HMI yang mengusulkan agar HMI dirubah menjadi HMII (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia) sekalipun toh kata yang diambil tidak harus dieksplisitkan dengan kata ‘Indonesia’. Di sini salah satu indikasi bahwa dimensi keindonesian HMI pada anggotanya cukup kental.
Tentu inilah salah satu pendapat yang bisa merangsang Kader untuk berani berpendapat yang kualitatif, selalu mengadakan eksplorasi, dan menggunakan kapasitas pemikiran yang akademis dan argumentatif. Serta, budaya dialog dan keterbukaan harus nampak dalam lingkungaan HMI, terutama dalam agenda Nasional seperti Kongres yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini di Palembang dan pada forum-forum formal HMI lainnya.

SILAKAN MASUK DUNIA POLITIK
Tak urung lagi Alm. Prof. Lafran Pane, seorang pendiri HMI, mempertegas pernyataan beliau pada acara penutupan Kongres XIV HMI pada tahun 1984 di Bandung “Sampai hari ini tidak orang yang meragukan bahwa HMI adalah kader-kader bangsa. HMI sejak semula mempunyai semangat nasionalisme dan patriotisme. Bahkan almarhum Jendral Soedirman pernah mengatakan, HMI berarti ‘Harapan Masyarakat Indonesia’ umumnya dan ‘Harapan Masyarakat Islam’ khususnya”, tandasnya.
Alm. Prof. Drs. Lafran Pane juga menekankan, agar independensi HMI tetap dipelihara dan dikembangkan. Adapun setelah menjadi alumni HMI untuk masuk ke partai manapun dipersilakan, ujar Guru Besar IKIP Yogyakarta ini pada acara Kongres XIV HMI di Bandung.
Tapi perlu diingat bahwa tidak semua anggota HMI itu suka akan politik, jadi perilaku politik di tubuh HMI yang sudah berlangsung selama ini harus memperlunak diri. Tapi bukan berarti anggota yang tidak suka itu tidak diberi ilmu politik dan pemikiran-pemikiran lainnya sama sekali. Karena pada dasarnya “Jika kita tidak ingin kemalingan, maka pelajari ilmu ‘maling’ itu, tapi jangan gunakan ilmu itu untuk kejahatan.”
KAHMI membayang-bayangi HMI?
Menyinggung soal KAHMI, Keluarga Alumni HMI, menarik untuk dicatat pikiran yang diajukan oleh seorang kader HMI yaitu Andaikan adanya KAHMI malah menjadi beban moril dan mengganggu eksistensi HMI, sehingga tidak lagi independen, adalah lebih baik KAHMI itu ‘dibubarkan saja’ ini adalah sebuah teguran bagi Anggota HMI untuk menajaga Independensi yang harus tetap dijaga. Berhubung banyak sekali alumni HMI itu yang menduduki jabatan birokrasi pemerintahan, pendidikan dan sosial. Sehingga tidaklah mustahil jika mereka menggandeng adik-adik HMI untuk berjalan bareng dalam meng-gol-kan tujuannya.
Sebab, selain walaupun secara struktural KAHMI tidak ada kaitan organisatoris dengan HMI, namun, bisa jadi sebagai alumni akan mendektikan kehendaknya pada HMI. Gejala semacam inilah yang harus dihilangkan, bila HMI benar-benar akan kokoh berpijak pada sifat independensinya. Dan sikap independesi inilah yang menjadi salah satu ciri khas HMI selama ini.


NDP dan Islam
Agar kiranya Pengurus Besar HMI mengadakan lokakarya tentag Nilai-Nilai Dasar Perjuang (NDP) HMI yang disahkan di Kongres tahun 2006 kemarin, tentunya sedikit-banyak NDP selama ini menjadi ‘bahan bakar’ kader untuk berindependensi (berciri khas), spesifikasinya dengan tiga sasaran. Pertama: Kemungkinan adanya penyempurnaan NDP, mengingat ada beberapa celah yang dirasa perlu disempurnakan dari berbagai kritikan dan pandangan, Kedua: Merumuskan metoda apa yang tepat untuk mensosialisasikan NDP bagi para anggota, yang selama ini dirasakan sulit penjabarannya karena rumusannya yang amat filosofis dan padat, Ketiga: Menunjuk satu tim untuk membuat buku pelengkap sebagai pegangan instruktur atau penceramah dalam memberikan materi NDP, yang cakupannya amat luas. Menengok bahwa sebagian peserta LK I adalah insan yang baru memasuki dunia perkuliahan sehingga sudah wajar bila belum mengetahui istilah-istilah filosofis. Oleh karena itu bagaimana agar NDP itu mudah di pahami oleh semua kader tetapi tetap menjadi ciri khas dan milik HMI dalam berideologi.
Termasuk usulan cakupan NDP yang berisi elaborasi intelektual dari ‘berbagai’ ajaran Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan juga suatu model pembangunan masyarakat yang memberikan sedikit resiko serta yang dikehendaki oleh ajaran Islam dan prespektif manusia seharusnya dalam menelaah tentang kehidupan (Kosmologi). Tapi idea dan Konsepsi ini jangan diartikan kita mau membuat agama Islam versi HMI. Kembali pada topik independensi HMI, bahwa selayaknya untuk duduk sebagai Pengurus Besar persyaratannya harus lebih diperketat lagi. Yakni mereka yang pernah duduk dipengurus cabang, atau anggota yang berprestasi tinggi, kedua yang pernah lulus dalam training HMI tingkat lanjutan dan ditambah dengan syarat-syarat yang semakna untuk menjaga kultur HMI. Misalnya; menguasai, memahami dan melaksanakan seluruh kandungan isi NDP dari BAB I sampai BAB VIII, agar independesi HMI tetap terjaga di tangan Ketua Umum PB yang ia emban selama dua tahun. Pengketatan ini dimaksudkan agar turut menjamin kelestarian kultur HMI yang independen, demokrat, akademis, sehingga tidak terjebak pada gaya partai, atau gaya organisasi intra yang jelas mempunyai perbedaan iklim dengan kebudayaan HMI.
Bagaimanapun juga Independensi HMI harus kita jaga!
Stogdill (1950) yang telah lama berkecimpung dalam bidang ini menyatakan bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah berusaha mendefinisikannya. Ia sendiri mengartikan kepemimpinan sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) adalah salah satu ahli lain yang banyak meneliti mengenai kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan.
Slamet (2002: 29) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan suatukemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orangagar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikemukakanoleh Slamet (2002: 30) bahwa kepemimpinan penting dalam kehidupan bersama dankepemimpinan itu hanya melekat pada orang dan kepemimpinan itu harus mengena kepada orang yang dipimpinnya. Hal ini berarti harus diakui secara timbal balik,misalnya sasaran yang dipimpin harus mengakui bahwa orang tersebut adalahpemimpinnya. Kepemimpinan adalah suatu upaya untuk mempengaruhi pengikut bukandengan paksaan untuk memotivasi orang mencapai tujuan tertentu. Kemampuanmempengaruhi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dari para anggotanya(Gibson 1986: 334)
Hubungan pemimpin dengan anggota berkaitan dengan derajat kualitas emosidari hubungan tersebut,yangmencakup tingkat keakraban dan penerimaan anggotaterhadap pemimpinnya. Semakin yakin dan percaya anggota kepada pemimpinnya, semakin efektif kelompok dalam mencapai tujuannya. Dalam hubungan pemimpindengan anggotanya perlu diperhatikan antisipasi kepuasan anggota dan harusdipadukan dengan tujuan kelompok, motivasi anggota dipertahankan tinggi,kematangan anggota dalam pengambilan keputusan dan adanya tekat yang kuat dalammencapai tujuan ( Slamet 2002: 32).
Faktor-faktor penting yang terdapat dalam pengertian kepemimpinan: (1) pendayagunaan pengaruh, (2) hubungan antar manusia, (3) proses komunikasi dan (4) pencapaian suatu tujuan. Kepemimpinan tergantung pada kuatnya pengaruh yang diberi serta intensitas hubungan antara pemimpin dengan pengikut (Ginting 1999: 21)Siangian S (1999: 208) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang telah dikenal
secara luas yaitu:
a. Demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilankeputusan sebagai keputusan bersama dari seluruh anggota sistem sosial yang bersangkutan.
b. Otokrasi yaitu gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusantergantung kepada pemimpinnya sendiri.
c. Laissez faire, yaitu gaya kepemimpinan yang menyerahkan pengambilan keputusankepada masing-masing anggota sistem sosial itu sendiri.
Kepemimpinan
Seorang pemimpin harus dapat melakukan sesuatu bagi anggotanya sesuai dengan jenis kelompok yang dipimpinnya. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemimpin untuk dapat mendinamiskan kelompok yaitu: (1) mengidentifikasi dan dan menganalisis kelompok beserta tujuannya, (2) membangun struktur  mempersatukan anggota kelompok, dan (3) mengimplementasikan filosofi. (Slamet, 2002: 34).
Robinson dalam (Ginting 1999: 26-27) Para ahli mengemukakan bahwa peranan yang perlu ditampilkan pemimpin adalah: (1) mencetuskan ide atau sebagai seorang kepala, (2) memberi informasi, (3) sebagai seorang perencana, (4) member sugesti, (5) mengaktifkan anggota, (6) mengawasi kegiatan, (7) memberi semangat untuk mencapai tujuan, (8) sebagai katalisator, (9) mewakili kelompok, (10) member tanggung jawab, (11) menciptakan rasa aman dan (12) sebagai ahli dalam bidang yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin kelompok, seseorang harus berperan mendoronganggota beraktivitas sambil memberi sugesti dan semangat agar tujuan dapat tercapai.
 Segala masukan yang datang dari luar, baik berupa ide atau gagasan, tekanantekanan, maupun berupa materi, semuanya harus diproses di bawah koordinasi pemimpin. Untuk ini, pemimpin perlu berperan: (1) sebagai penggerak (aktivator), (2) sebagai pengawas, (3) sebagai martir, (4) sebagai pemberi semangat/kegembiraan, dan (5) sebagai pemberi tanggung jawab kepada anggota. Menurut Covey dalam (Kris Yuliani H 2002: 6) ada tiga peranan pemimpin dalam kelompok/organisasi antara lain
1. Pathfinding (pencarian alur), mengandung sistem nilai dan visi dengan kebutuhan pelanggan melalui suatu perencanaan strategis yang disebut the strategic pathway (jalur strategi).
2. Aligning (penyelarasan), upaya memastikan bahwa struktur, sistem dan operasional organisasi memberi dukungan pada pencapaian visi dan misi dalam memenuhi kebutuhan - pelanggan dan pemegang saham lain yang terlibat.
3. Empowerment (pemberdayaan), suatu semangat yang digerakkan dalam diri orang-orang yang mengungkapkan bakat, kecerdikan dan kreativitas laten, untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati untuk mencapai nilai, visi dan misi bersama dalam melayani kebutuhan pelanggan dan pemegang saham lain yang terlibat.
                   Peranan pemimpin kelompok yang sangat perlu dilaksanakan oleh seorang pemimpin kelompok yaitu: (1) Membantu kelompok dalam mencapai tujuannya: (2) Memungkinkan para anggota memenuhi kebutuhan : (3) Mewujudkan nilai kelompok (4) Merupakan pilihan para anggota kelompok untuk mewakili pendapat mereka dalam interaksi dengan pemimpin kelompok lain : (6) Merupakan seorang fasilitator yang dapat
menyelesaikan konflik kelompok (Sulaksana 2002: 7).
Menurut Sondang (1999: 47-48), lima fungsi kepemimpinan yang dibahas secara singkat adalah sebagai berikut: (1) pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan, (2) wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi, (3) pimpinan selaku komunikator yang efektif, (4) mediator yang handal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik, (5) pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.Pada hakekatnya peranan pemimpin perlu disesuaikan dengan ciri khas dari kelompok atau komunitas. Peranan pemimpin pada kelompok swadaya masyarakat miskin kota yaitu dilihat dari: (1) peranan pemimpin dalam memotivasi anggota dalam berusaha, (2) peranan pemimpin sebagai penghubung dengan pihak P2KP, (3) peranan pemimpin dalam membantu mengembangkan ketrampilan anggota, (4) peranan pemimpin dalam menjaga kekompakan kelompok, (5) peranan pemimpin dalam mengembangkan wawasan anggota, (6) peranan pemimpin dalam membantu anggota memasarkan hasil produksi, (7)  peranan pemimpin sebagai penghubung dengn pihak lain untuk kelancaran usaha, dan (8) peranan pemimpin dalam menjabarkan ide-ide pengembangan usaha.
Dua aspek penting dalam pengorganisasian meliputi :
1) Pola struktur yang berarti proses hubungan interaksi yang dikembangkan secara efektif, penataan tiap kegiatan yang merupakan kerangka kerja dalam organisasi. Struktur kerja organisasi termasuk kelompok kegiatan yang sama, pola hubungan antar kegiatan yang berbeda, penempatan tim yang tepat dan pembinaan cara komunikasi yang efektif antar tim.
2) Pengorganisasian dapat diuraikan sebagai rangkaian aktifitas menyusun suatu kerangka kerja yang menjadi wadah bagi semua kegiatan usaha kerja sama dengan cara menbagikan, mengelompokkan tim yang harus dilakukan, menerpakan menjalin hubungan kerja sama antar lembaga lain yang mempunyai visi yang sama.
Prinsip – Prinsip Pengorganisasian
1. Pembagian Kerja
Prinsip dasar untuk mencapai efisiensi yaitu pekerjaan dibagi-bagi sehingga setiap orang memilik tugas tertentu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pengelompokkan dan pembagian kerja
1) jumlah tugas yang dibebankan seseorang terbatas dan sesuai dengan
2) kemampuannya
3) tiap bagian memiliki perincian aktivitas yang jelas dan tertulis
4) tiap staf memiliki perincian tugas yang jelas
5) variasi tugas bagi seseorang diusahakan sejenis atau erat hubungannya
6) mencegah terjadinya pengkotakkan antar kegiatan
7) penggolongan tugas berdasarkan kepentingan mendesak, kesulitan dan waktu
2. Pendelegasian Tugas
Pendelegasian adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada tim KOMDEK untuk bertindak dalam batas-batas tertentu. Dengan pendelegasian, seorang ketua dapat mencapai tujuan dan sasaran kelompok melalui usaha orang lain, hal mana merupakan inti manajemen. Selain itu dengan pendelegasian , seorang ketua mempunyai waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain yang lebih penting seperti perencanaan dan evaluasi. Pendelegasian juga merupakan alat pengembangan dan latihan manajemen yang bermanfaat. Keuntungan bagi tim KOMDEK dengan melakukan pendelegasian adalah mengambangkan rasa tanggung jawab, meningkatkan pengetahuan dan rasa percaya diri, berkualitas, lebih komit dan puas pada pekerjaan.
3. Koordinasi
Manfaat Koordinasi:
1. menghindari perasaan lepas antar tugas yang ada bagian dan perasaan lebih penting dari yang lain
2. menumbuhkan rasa saling membantu
3. menimbulkan kesatuan tindakan dan sikap antar staf
Cara koordinasi:
Komunikasi terbuka, dialog, pertemuan/rapat, pencatatan dan pelaporan
4. Laporan Kegiatan
1) terdiri dari laporan tiap-tiap kegiatan yang dilaksanakan oleh penanggungjawab kegiatan
2) dokumentasi
3) Absensi/daftar hadir
4) proseding/notulensi
5) adanya format penulisan yang sudah ditetapkan sehingga laporan kegiatan tidak berubah-berubah
5. Laporan Keuangan
1) expenditure report
2) bukti pembayaran (ada tanda tangan, stempel toko dan bukti lunas)
3) Buku Kas
4) Lampiran-lampiran yang berkaitan dengan keuangan (surat kontrak, surat penawaran, dll)
Secara normatif, keberhasilan kepemimpinan akan sangat tergantung kepada tiga unsur tersebut yang meliputi : syarat, watak, ciri, gaya, sifat, prinsip, teknik, asas dan jenis kepemimpinan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kepemimpinan.
Kepemimpinan akan berjalan efektif, disegani, dan memiliki derajat yang tinggi bila seorang pemimpin memiliki 3 (tiga) kelebihan dari yang dipimpin dalam hal sebagai berikut :
1. Kelebihan dalam bidang rasio meliputi :
a. Pengetahuan tentang tujuan organisasi. b. Pengetahuan tentang asas-asas organisasi. c. Pengetahuan tentang cara memutar roda organisasi secara efisien. d. Tercapainya tujuan organisasi secara maksimal.
2. Kelebihan dalam bidang rohaniah meliputi : Keluhuran budi pekerti, Ketinggian moralitas, Kesederhanaan watak.
3. Kelebihan dalam bidang jasmaniah meliputi : Memiliki badan/fisik yang sehat dan memungkinkan menjadi contoh dalam prestasi sehari-hari.
Menurut WJ. REDDIN. Setiap kepemimpinan memiliki orientasinya sendiri-sendiri. Ia mengidentiifikasi adanya tiga orientasi kepemimpinan. 1). Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented). 2. kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan kerjasama (relationship oriented). 3. Kepemimpinan yang berorientasi pada hasil (effectiveness oriented).
Dari tiga orientasi tersebut Reddin mengklasifikasikan delapan gaya kepemimpinan, yaitu 1.The Deserter, gaya kepemimpinan yang hanya sedikit memiliki ketiga orientasi tadi atau bahkan tidak ada sama sekali; 2. The Bureaucrat, gaya kepemimpinan yang hanya berorientasi pada hasil dengan orientasi tugas yang rendah; 3. The Missionary, gaya kepemimpinan yang hanya berorientasi pada membangun jalinan kerja sama dengan orientasi tugas yang rendah; 4. The Development, gaya kepemimpinan yang beroreintasi pada hasil dan jalinan kerja sama yang tinggi tetapi orientasi tugasnya rendah; 5. The Autocrat, gaya kepemimpinan yang hanya berorientasi pada tugas, sementara orientasi yang lainnya rendah; 6. The Benevolent Autocrat, gaya kepemimpoinan yang berorrientasi pada hasil dan tugas yang tinggi, sedangkan orientasi jalinan kerja samanya rendah; 7. The Compromiser, gaya kepemimpinan yang kurang berorientasi pada hasil tetapi mempunyai orientasi tugas dan jalinan kerja sama yang memadai; 8. The Executive, gaya kepemimpinan yang mempunyai ketiga orientasi.
Dalam ajaran Islam, pemegang fungsi kepemimpinan disebut IMAM dan istilah kepemimpinan disebut IMAMAH. Sedangkan penyebutan istilah pemimpinan negara, dalam sejarah kebudayaan Islam menggunakan istilah yang beraneka ragam, seperti : khalifah, amir, sultan, dan wali. Dalam pada itu perkataan “wali” dalam arti pemimpin masih segar hingga hari ini, sering kita jumpai istilah : wali kota, wali negeri, wali songo, dan sebagainya.
Mengenai perlunya ada pemimpin ditandaskan Rasulullah SAW: “Apabila berangkat tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantaranya menjadi pemimpin” (HR.Abu Dawud). Beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan eksistensi pemimpin diantaranya adalah : Q.S. Al-Baqarah : 124, Al-Anbiya : 72-73, Shad : 26, Al-An’am : 165. Dalam ajaran Islam, seorang pemimpin dituntut mampu menampilkan kepribadian yang ber-akhlaqul karomah (memiliki moralitas yang baik), Qona’ah (sederhana), dan Istiqomah (konsisten/tidak ambivalen).

2 komentar: